Sabtu, 18 Desember 2010

Tulisan 2


CERPEN

Aku merasa ayah membangunkan aku malam itu dan mengajakku bercakap-cakap. Sekadar merasa saja, tidak lebih dari itu, bahwa ia hadir lagi di depanku, mengupas kuaci dengan giginya, dan sesekali mendesis karena rasa asin yang menebalkan bibir dan lidah. Kami sering duduk berdua seperti itu. Di atas meja selalu tersedia air teh dalam cangkir besar yang sudah berkali-kali ditambahi dengan air panas. Aku juga makan kuaci dengan cara yang sama dan sesekali mendesis pula seperti yang dilakukan ayah.

Ayah orang yang menyenangkan.

“Berapa nilai ulanganmu tadi siang, Alit?” tanyanya.

“Sembilan puluh.”

“Wah, kamu bisa jadi dokter.”

“Mestinya seratus, yah, sayang aku kurang teliti pada nomer lima.”

“Lain kali harus lebih teliti.”

“Ya, lain kali aku tak akan teledor lagi.”

“Tapi sembilan puluh pun bagus, Alit. Kau boleh punya cita-cita menjadi apa saja dengan nilai sembilan puluh.”

Ayah ingin aku menjadi oarang yang berhasil dan gampang memperoleh duit. Dia sering sekali mengulang-ulang pertanyaan yang sama, “Kamu ingin jadi apa kelak, Alit?” Dan tanpa banyak berpikir aku selalu akan menjawab, Jadi dokter, yah!”

Aku tidak ingat sampai usia berapa aku menjawab seperti itu. Tetapi ketika umurku menginjak tiga belas, rumah kami kena gusur. Waktu itu aku duduk di kelas dua SMP. Dan karena ada persoalan serius dengan penggusuran rumah maka sekolahku agak terganggu. Aku jadi jarang masuk sekolah dan sulit menangkap pelajaran. Beberapa saat kami tinggal di bawah tenda, dan peristiwa ini betul-betul membuat aku kehilangan perhatian terhadap sekolahku.Tentu saja nilaiku jadi buruk.

Nasib serupa dialami oleh para tetanggaku yang semuanya harus angkat kaki dari rumah mereka; mereka meradang seperti hewan yang luka. Para lelaki mengertapkan rahang sehingga wajah mereka tampak seperti patung kayu, dan bola mata mereka berubah jadi nyala api. Para perempuan bahkan sampai melepaskan gaunnya dan berdiri telanjang bulat menghadang buldoser yang menggasak dan merubuhkan rumah-rumah. Tapi amukan buldoser tidak berhenti hanya karena para lelaki berubah menjadi patung kayu dan para perempuan menanggalkan gaun mereka. Kami tetap harus meninggalkan kampung kami.

Wajah ayah kelihatan lebih muram dari biasanya, tetapi ia tidak pernah menjadi sangat marah. Ia tidak meledak-ledak seperti tetangga yang lain. Ayah seperti sebuah permukaan telaga yang menyimpan arus, dan aku tidak bisa menduga apa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia mengingatkan ibu agar tidak usah ikut-ikutan telanjang.

“Bagus mana tanah kita ini dengan yang dijanjikan sebagai pengganti, yah?” tanyaku.

“Kamu tahu kenapa para perempuan itu rela menelanjangi tubuh mereka?” ia balas bertanya

“Karena mereka tak mau pindah,” jawabku. “Kita semua tak mau pindah. Bukankah begitu?”

“Ya, karena tak mau pindah.”

“Apakah karena tanah pengganti itu lebih buruk?”

Ayah hanya mendengus. Aku pura-pura paham arti dengusannya.

“Kalau begitu, kenapa engkau melarang ibu telanjang?” desakku.

“Karena mataku tak bisa melihatnya, Alit. Saru! Tidak pada tempatnya perempuan mencopot baju di tanah lapang.”

“Tapi bukankah penggusuran itu harus ditentang, yah? Rumah kita tak boleh dirobohkan seenaknya.”

“Penggusuran memang harus ditentang. Tapi kau pikir ada cara untuk menghadang laju buldoser?”

Buldoser memang tak bisa dihadang. Kata ayah, karena ia tak punya perasaan. Ayah percaya bahwa tiap-tiap manusia menggenggam nasibnya masing-masing. Karena itu ia tidak terlalu bersedih. Ayah tidak terperangkap dalam kemarahan dan rasa sedih yang berkepanjangan dengan peristiwa apa pun yang menimpa kami. Apa yang harus digugat jika segalanya sudah tergambar dalam garis tangan setiap orang? Rasa sedih yang berkepanjangan, menurut ayah, sama halnya dengan memprotes keputusan Tuhan.

“Apakah Tuhan tak suka diprotes?” tanyaku.

“Pak lurah saja pun tak suka,” kilahnya.

Kampung kami akhirnya tercerai berai.Tetangga-tetangga menempati tanah ganti rugi yang terpisah-pisah. Kampung kami menjadi kosong sama sekali setelah beberapa saat dilalui suasana yang hiruk-pikuk, tegang, dan penuh teriakan marah. Ayah terus-menerus mengingatkan aku agar jangan pernah mengumpat dam menyesali nasib, bahkan untuk nasib yang paling buruk sekalipun.

Beberapa minggu setelah kami tinggal di bawah tenda, ayah kemudian memboyong kami pindah ke rumah kakek. Ada sedikit kerepotan pada hari ketika kami mulai angkut-angkut barang. Adikku yang paling kecil sakit, sedangkan yang nomer dua kehilangan kucing kesayangannya. Ia tak mau pindah kalau tidak bersama kucing itu.

“Nanti di rumah kakek kita piara lagi seekor kucing,” bujuknya pada adikku.

Adikku tetap sulit dibujuk. Ia merajuk saja sepanjang malam, sampai akhirnya kecapaian dan tertidur di luar tenda. Ayah membawanya masuk untuk menghindarkannya dari udara malam yang penuh uap air.

“Kau pasti akan suka di tempat kakek, Alit,” katanya padaku.

“Mungkin saja. Asal nenek tidak terlalu cerewet.”

“Nanti ayah akan bikin rumah di pekarangan sebelah yang masih kosong. Kemudian di belakang rumah, kita bangun kandang ayam. Heh, kau lihat, Alit! Di bumi Tuhan ini kita tidak bakal terlantar. Jadi jangan pernah mengumpat. Berterikasih sajalah untuk rasa sedih dan rasa bahagia. Semua itu rahmat.”

Pada saat itu, aku tidak tahu ayah masih mengharapkan aku jadi dokter atau tidak. Ia sudah tidak menanyaiku lagi. Mungkin pertanyaan itu ia simpan dalam hati.

Rumah kakek jauh sekali dari sekolahku. Karenanya aku pindah sekolah di tempat yang lebih dekat. Ada satu persoalan yang muncul kemudian dengan sekolahku yang baru, aku selalu merasa bahwa sekolahku yang belakangan jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kepada ayah aku bilang, sekolah yang dulu lebing menyenangkan, orang-orangnya ramah, dan guru-gurunya semuanya baik. Tapi, kendati banyak keluhanku di sekolahku yang baru, aku bisa lulus juga.

Setelah tamat SMP, aku masuk SMA dan berusaha memperoleh kembali nilai-nilai yang bagus. Aku belajar begitu tekun. Tetapi, buldoser-buldoser seperti setan jahat yang dikeluarkan dari neraka. Mereka memburuku terus-terusan dan sekali lagi menggusur kami ketika aku tengah siap-siap menghadapi ujian akhir. Pekarangan rumah kakek yang kami tempati di minta untuk pelebaran jalan. Kami kemudian berdesak-desakan di dalam satu rumah dengan kakek dan nenek.

Aku benci sekali tinggal serumah dengan nenek. Kalau siang ia cerewet sekali dan malamnya ia memmperdengarkan suara batuk yang menyayat gendang telingaku. Seolah-olah aku ini tidur dalam hutan dan setiap malam mendengarkan serigala menyalak panjang, dan jika aku terlena aku khawatir serigala itu akan menerkam tengkukku.

Dan ayah tetap seperti telaga yang tenang permukannya.

“Tuhan sangat kaya, Alit,” katanya. Pelan sekali ia bicara namun aku mendengar suara gemuruh seperti pusaran air yang masuk ke dalam palung. Ia seperti bicara untuk dirinya sendiri. Untuk menyakinkan dirinya sendiri.

Kemudian dari waktu ke waktu aku melihat paras muka ayah semakin keruh. Ia masih mengingatkan kami agar tidak menggugat Tuhan atas nasib yang harus kami jalani, tetapi kupikir ia sebenarnya sedang mengingatkan dirinya sendiri agar tidak mengutuki nasib buruk yang mengejar dan mengintainya.

Berlawanan apa yang selalu diucapkannya, ayah menjadi orang yang sangat sedih. Dan kesedihan itu seperti rawa-rawa yang pelan-pelan menenggelamkan semangat hidupnya. Aku melihat tubuh ayah tersedot ke dalam rawa-rawa tersebut, tangannya menggapai-gapai seperti mengharap pertolongan. Ia meninggal sebelum tanganku kuat untuk menariknya keluar dari kubangan kesedihan itu.

Aku sesungguhnya tidak ingin mengingat-ingat seluruh kesedihan itu. Tetapi tiba-tiba saja ayah muncul. Jarum jam di mejaku menunjukkan jam dua malam. Aku betul-betul merasa bahwa ayah membangunkanku dan mengajakku bercakap-cakap. Barang kali istriku yang tidak sengaja menyenggolku. Aku berniat memejamkan mata lagi ketika tiba-tiba sadar bahwa istriku ternyata tidak ada disebelahku.

Ia muncul beberapa saat kemudian membawa segelas besar air putih. Udara malam itu gerah sekali, sebentar lagi hujan turun.

“Aku merasa ayah membangunkanku barusan,” celotehnya sebelum aku sempat membuka mulut. “Dia mengajakku bercakap-cakap. Dan herannya, Alit, kami seperti dua orang yang sudah saling kenal. Padahal, aku ingat, satu kalipun aku belum pernah ketemu dengannya, kan? Ayah sudah lama meninggal ketika kita menikah.”

“Apa katanya?”

“Apa, ya? Ia berpikir sejenak, dan kemudian menyerah. “Tak ada yang bisa kuingat, padahal, tadi begitu jelas kata-katanya. Apa, ya?”

“Sama sekali tak ada yang bisa diingat?”

“Aku sering begini, Alit. Tak bisa ingat sama sekali kepada hal-hal yang barusan kumimpikan.”

Aku ingin bilang kepadanya bahwa aku pun baru saja merasa dibangunkan ayah, tetapi kuurungkan. Kalau kuceritakan, pasti kami tak akan bisa tidur lagi sampai pagi nanti karena aku harus melayaninya ngobrol. Ia akan sangat suka menghubung-hubungkan peristiwa kebetulan yang kami alami malam ini ke arah pembicaraan yang berbau-bau mistik. Kenapa pada saat yang bersamaan kami sama-sama merasa dibangunkan oleh ayah? Untuk menjawab pertanyaan ini, aku tahu, akan dibutuhkan percakapan berjam-jam.

“Sedikit pun tak ada yang bisa kamu ingat?” tanyaku lagi sekenanya.

“Apa, ya? Cuma sedikit dan samar-samar. Kalau tidak salah dia minta kita datang ke rumah dik Bagas dan dik Yuni. Lama sekali kita tidak ke sana.”

Kenapa bisa sama? Ayah juga minta hal yang serupa kepadaku. Tapi kutahan saja, aku tak bilang apa-apa kepada istriku. Akhirnya, kami tidak tidur sampai pagi

Keesokan harinya aku menemui Bagas dan Yuni sepulang dari tempat kerja. Kupikir sangat penting untuk segera ketemu mereka karena ayah berpesan hal sama kepadaku dan istriku. Kedua adikku itu masih tinggal di rumah kakek. Kakek sudah meninggal satu tahun setelah kematian ayah. Kini mereka hanya tinggal bertiga dengan nenek, dan nenek masih batuk-batuk jika malam.

Agaknya penyakit itu tidak tersembuhkan.

“Kuburan ayah hendak dibongkar karena ada proyek jalan arteri,” kata Bagas ketika aku menemuinya. “Kemarin aku terima surat pemberitahuannya. Ia harus dipindah ke tempat lain. Kalau bukan kita sendiri yang memindahkannya, apa boleh buat, hilang kuburan itu.”

Seperti ada burung nasar yang terbang rendah, lalu mencabik-cabik jantung dan hatiku. Aku seperti mendengar roda bolduser berdentam-dentam keluar dari liang neraka, dan terus mengejar ayah. Setiap manusia, seperti kata ayah, memang menggenggam nasib di telapak tangannya. Dan Ayah! Ia terus dikejar-kejar buldoser. Bahkan, sampai tiba waktu baginya untuk beristirahat, ia masih saja dikejar-kejar makhluk itu.

Kuraih surat pemberitahuan yang disodorkan oleh adikku. Kuremas-remas dan kubuang ke selokan. Kabar buruk memang hanya pantas ditempatkan di selokan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar